JAKARTA, (TRIBUNEKOMPAS)
By: Rangga.
- Pemilukada tahun ini masih banyak dinodai pelanggaran. Catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selama 2011 setidaknya telah terjadi 1.718 dugaan pelanggaran.
Dari jumlah tersebut 565 atau 33 persen diantaranya dugaan pelanggaran administrasi dan sebesar 22 persen atau 372 pelanggaran pidana. Sisanya sebanyak 781 dugaan pelanggaran tidak diteruskan kepada KPU dan/atau Kepolisian, karena bukti permulaan tidak cukup, atau kadaluwarsa bagi pelanggaran pidana.
Data pelanggaran ini merupakan hasil pengawasan Bawaslu yang dilakukannya terhadap pelaksanaan pemilukada di 92 daerah, baik di provinsi, kabupaten dan kota.
“Sebanyak 781 dugaan pelanggaran tidak dapat diteruskan kepada pihak KPU dan Kepolisian. 565 Pelanggaran kita teruskan ke KPU karena memenuhi unsur pelanggaran administrasi. Sedangkan 372 terindikasi sebagai tindak pidana dan diteruskan ke penyidik kepolisian,” kata anggota Bawaslu Nur Hidayat Sardini di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, permasalahan tersebut antara lain disebabkan keterbatasan kewenangan Bawaslu, dan kurangnya sumber daya manusia. Dari 565 pelanggaran, paling besar adalah pelanggaran kampanye yang jumlahnya 296 laporan, pemutakhiran data pemilih 103 laporan, pemungutan suara dan rekap 95 laporan, pra-kampanye 42 laporan, dan masa tenang sebanyak 29 laporan.
“Dari 372 pelanggaran tersebut, oleh kepolisian diteruskan kejaksaan sejumlah 16 pelanggaran. Pelanggaran terjadi karena masih banyaknya pemalsuan tanda tangan dukungan, kampanye terselubung, intimidasi dari salah satu pasangan calon, pengelembungan suara maupun pengurangan suara,” jelasnya.
Alumni Universitas Diponegoro ini menegaskan, diperlukan upaya aktif dari pengawas pemilu menggandeng para pemangku kepentingan (stakeholder). Hal tersebut dilakukan demi mengoptimalkan dukungan dari lembaga-lembaga pemerintah dan badan negara independen dalam pengawasan penyelenggaraan pemilukada, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraannya, dan secara lebih komprehensif. “Itu merupakan bagian dari pendidikan politik untuk rakyat,” ujarnya.
Diungkapkan, anggaran Panitia Pengawas Pemilu (panwaslukada) yang disetujui Pemerintah Derah (Pemda) jauh lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan biaya pengawasan yang diajukan Panwaslu di daerah. Akibatnya, pengawasan yang dilakukan Panwaslukada tidak optimal
Idealnya, kata dia, nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) ditandatangi sebelum tahapan pertama Pemilukada dimulai, sehingga Panwas dapat melakukan persiapan pengawasan yang matang.
Tapi, yang terjadi, dari 35 daerah yang melaporkan tanggal penandatanganan MoU, hanya empat daerah yang melakukan penandatanganan MoU anggaran sebelum tahapan I Pemilukada dimulai.
Bahkan ada dua daerah yang menandatangani MoU pada saat menjelang hari pemungutan dan penghitungan suara, yaitu Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banjarnegara.
Tak hanya itu, kata dia, Bawaslu juga menemukan praktik politik uang alias money politics dan ketidaknertalan pegawai negeri sipil (PNS) di pemilukada. Kedua hal tersebut adalah bentuk pelanggaran yang masih sering ditemukan panwaslu 53 kabupaten dan kota. “Dalam catatan yang ditangani panwaslu tercatat pelanggaran politik uang sebanyak 367 kasus, dan ketidaknetralan PNS 63 kasus,” ungkapnya.
Dilihat dari jumlah kasusnya, politik uang banyak terjadi di di Kabupaten Wakatobi sebanyak 48 kasus, di Nunukan 37 kasus, dan sebanyak 33 kasus di Tanjung Jabung Timur.
Pelaku pelanggaran politik uang dilakukan adalah tim sukses, warga biasa yang tidak jelas berkaitan dengan tim sukses, pemuka masyarakat, dan Petugas Pemungutan Suara (PPS).
Biasanya pelanggaran money politic dilakukan pendukung calon dari pasangan incumbent, yang menyalahgunakan kekuasaannya, dan sering terjadi di Kabupaten/Kota. Jumlahnya beragam, mulai dari Rp 20 ribu sampai Rp 5 juta.
Sedangkan pada kasus ketidaknetralan PNS hampir terdistribusi secara merata dengan jumlah terbanyak di Kabupaten Sragen, Banjarnegara, dan Kediri masing-masing enam kasus di tiap daerah.
Kasus itu terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya banyaknya PNS yang menjadi juru bicara kampanye, pejabat yang menyuruh bawahannya untuk memilih pasangan calon tertentu, serta penggunaan fasilitas pemerintah daerah seperti gedung yang digunakan untuk kampanye tim sukses. “Ini penyelewengan jabatan. Semestinya segera ditindaklanjuti. Hanya saja kewenangan Bawaslu terbatas,” jelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar