JAKARTA, (Tribunekompas)
By: Anto.
- Tim Satuan Khusus Pemberantasan Korupsi Kejaksaan Agung melakukan pengembangan kasus pengadaan alat sistem informasi perpajakan pada 2006 yang terindikasi korupsi. Alhasil, tim yang terdiri dari 15 personel dan diketuai jaksa Edi Rakamto itu, melakukan penggeledahan di empat tempat dan menetapkan dua tersangka dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rochmad, kedua tersangka itu ialah Bahar dan Pulung Soeharto. Penetapan status tersangka terhadap Bahar berdasarkan surat perintah Nomor 152/f2/fd1/11/2011, tertanggal 3 November 2011. Penetapan tersangka terhadap Pulung sesuai surat perintah Nomor 153/f2/fd1/11/2011, tertanggal 3 November 2011.
“Sudah ditetapkan tersangkanya dua orang, yakni Bahar dan Pulung Soeharto,” kata Noor.
Noor menjelaskan, Bahar merupakan Ketua Panitia Pengadaan Sistem Informasi Manajemen. Pulung adalah Pejabat Pembuat Komitmen. “Mereka ditetapkan sebagai tersangka setelah dilakukan penggeledahan di sejumlah titik,” tambahnya.
Tapi, Noor mengaku belum tahu angka pasti dugaan kerugian negara dalam perkara tersebut. Angka kerugian itu, katanya, sedang ditelisik para jaksa yang menangani kasus ini.
Kedua tersangka itu pun belum ditahan. Alasannya, penyidik akan menjadwalkan pemeriksaan kedua tersangka itu terlebih dahulu. “Tidak semua penetapan tersangka harus disertai penahanan,” ujarnya.
Selanjutnya, Noor bercerita bahwa penggeledahan dilakukan tim satuan khusus yang diketuai jaksa Edi Rakamto. Tim tersebut berisi 15 personel dari jajaran Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus). “Jam 12 siang, tim berangkat untuk melakukan penggeledahan di empat tempat.”
Menurutnya, penggeledahan itu sudah mengantongi izin, sesuai surat penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 18/pen/2011/PN Jaksel tanggal 3 November 2011 dan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 1443/pen/p10/PN Jakbar.
“Karena penggeledahan itu harus izin ke pengadilan setempat,” ucap Noor.
Penggeledahan dilakukan di empat tempat, yakni kantor pusat Ditjen Pajak, kantor Pengolahan Data dan Dokumen Pajak di Jakarta Barat dan dua rumah Bahar di Jalan Madrasah, Gandaria, Jakarta Selatan serta Komplek Cinere, Depok, Jawa Barat. “Semuanya sudah kami teliti dan kami geledah,” imbuhnya.
Dari penggeledahan itu, penyidik menemukan beberapa dokumen serta surat-surat yang diduga berkaitan dengan kasus ini. Ditemukan pula beberapa dokumen yang dicari, tapi sudah dipindahkan dari kantor pusat Ditjen Pajak ke kantor pajak Jakarta Barat. “Dokumen itu terkait pengadaan barang sistem informasi tersebut. Yang lain masih diinventarisir penyidik,” katanya.
Di Jalan Ketimun Nomor 115, Blok A, Perumahan Cinere Estate yang merupakan rumah Bahar, penyidik menyita sejumlah barang seperti laptop, tiga flashdisk dan sejumlah buku tabungan. Namun, tersangka sedang tidak di rumahnya saat penggeledahan. Di rumah itu hanya ada beberapa pembantu dan tukang yang sedang merenovasi rumah.
Menurut Noor, kedua tersangka diduga melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Keppres Nomor 80 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. “Modusnya, sebagian barang tidak sesuai dengan spek dan sebagian lagi fiktif,” katanya.
Kapuspenkum menambahkan, kasus tersebut belum berhenti sampai dua tersangka ini. Soalnya, penyidik masih mengembangkan perkara tersebut.
“Kami akan kaji lebih dalam supaya kasus ini menjadi terang benderang,” ujar Noor.
Menanggapi kasus ini, Ditjen Pajak menyerahkan sepenuhnya kepada penegak hukum. “Tentu kami prihatin. Tapi, kami sangat kooperatif dengan pihak berwajib agar segera tuntas,” kata Direktur Penyuluhan dan Bimbingan Pelayanan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dedi Rudaidi saat jumpa pers di Gedung Ditjen Pajak.
Dedi menyatakan, kasus ini murni bukan perkara perpajakan, tapi pengadaan barang. “Tidak sedikit pun kami resistance terhadap proses hukum ini. Justru kami dukung, karena kami sedang berbenah,” ujarnya.
BPK Endus Penyimpangan Rp 12 Miliar
Reka Ulang
Kasus ini bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bahwa terjadi penyimpangan pengadaan sistem informasi perpajakan di Ditjen Pajak tahun anggaran 2006. Total anggaran pengadaan ini sekitar Rp 43 miliar. Dugaan penyimpangannya sekitar Rp 12 miliar.
Dua minggu lalu, Kejaksaan Agung meningkatkan kasus tersebut ke tahap penyidikan tanpa tersangka. “Dari hasil penyelidikan, kami tingkatkan ke penyidikan, tapi belum ditentukan tersangkanya,” kata Direktur Penyidikan bagian Pidana Khusus Arnold Angkouw di Gedung Kejagung, Jakarta, Kamis (3/11).
Arnold menambahkan, dalam proses penyidikan, penyidik tentu berusaha mengumpulkan alat-alat bukti. Namun, pihak-pihak terkait pengadaan sistem informasi ini, tidak kooperatif saat diminta menyerahkan sejumlah dokumen.
“Kami tidak bisa menunggu lama. Makanya, kami melakukan penyitaan dan penggeledahan. Kami turunkan tim, dan ternyata dokumennya sudah dipindahkan dari kantor pusat pajak ke kantor pelayanan pajak Jakarta Barat,” jelas Arnold.
Melihat pemindahan dokumen itu, penyidik semakin curiga ada penyimpangan dalam pengadaan sistem informasi ini.
“Sesuai Undang-Undang, jaksa mempunyai wewenang melakukan penggeledahan, menyita, karena itu bagian pengumpulan alat bukti. Alat bukti itu yang kami pakai, apakah ada pelanggaran pidananya.”
Menurut Arnold, hasil audit BPK menunjukkan, setidaknya terdapat penyelewengan dana sebesar Rp 12 miliar dari total proyek Rp 43 miliar. BPK menilai, pengadaan sistem informasi ini setengah fiktif. “Antara lain mengenai alat-alat yang tidak ada wujudnya,” katanya.
Pengadaan sistem informasi di Ditjen Pajak ini, lanjut Arnold, awalnya berjalan baik. Namun, saat pengadaan tambahan, diduga terjadi penggelembungan harga.
“Nah, pengadaan tambahan ini, diubah jenisnya dalam proses lelang, sehingga tidak connect dengan yang sudah ada, padahal mereknya sama supaya dia tersambung,” terang Arnold
Akibatnya, pihak rekanan Ditjen Pajak dalam pengadaan ini, yakni PT BHP diuntungkan. Diduga terjadi pelanggaran Pasal 2 dan 3 Undang Undang Tipikor dan Keppres Nomor 80 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
Ingatkan Kejagung Agar Tak Mangkrak
Marwan Batubara, Direktur LSM IRES
Direktur Eksekutif LSM Indonesian Resource Studies (IRES) Marwan Batubara menilai, Ditjen Pajak mesti direformasi total untuk menghilangkan reaksi negatif masyarakat kepada lembaga ini. Terlebih, setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan dua pejabat Ditjen Pajak sebagai tersangka kasus pengadaan sistem informasi perpajakan.
“Setelah kasus Gayus, tadinya saya berharap tidak ada lagi perkara korupsi di Ditjen Pajak. Ini tanda bahwa pengawasan di Ditjen Pajak lemah. Sebab, jika pengawasannya bagus, tentu kasus seperti ini tidak terjadi,” katanya.
Marwan kemudian mendesak Kejagung agar segera membongkar, adakah oknum-oknum Ditjen Pajak, mulai dari pegawai bawah sampai pejabat tingginya yang menerima fee tidak wajar dari dugaan korupsi ini.
Marwan mengingatkan, Kejagung agar serius membawa perkara tersebut ke pengadilan. Jangan hanya heboh di awal, tapi ujung-ujungnya perkara tersebut mangkrak, seperti sejumlah kasus korupsi yang ditangani Kejagung.
Lantaran itu, dia menyarankan KPK untuk mensupervisi penanganan kasus ini. Apalagi, katanya, saat ini masyarakat lebih percaya KPK ketimbang lembaga penegak hukum lain. “Mungkin hasilnya nanti berbeda jika KPK yang turun tangan,” ucapnya.
Sedangkan hakim, lanjutnya, bisa memberikan hukuman dua kali lipat terhadap pejabat Ditjen Pajak yang terbukti terlibat perkara ini. Sebab, katanya, hukuman ringan hanya menambah rentetan kasus korupsi di Ditjen Pajak. “Sudah saatnya yang terbukti korupsi dihukum lebih berat dari biasanya,” katanya.
Terlepas dari kasus pengadaan sistem informasi ini, Marwan menyarankan aparat penegak hukum membongkar mafia pajak dengan menggali informasi dari orang-orang yang terkait kasus perpajakan, seperti Gayus Tambunan. Sebab, katanya, kemungkinan besar orang seperti Gayus mengetahui siapa saja yang terlibat.
Orang-orang yang terkait kasus perpajakan, lanjut Marwan, adalah sumber informasi untuk mengurai dan membongkar mafia pajak. “Tak terkecuali proyek pengadaan sistem informasi ini. Saya baru tahu kalau ini bermasalah setelah mendengar adanya laporan dari BPK,” ujar bekas anggota DPD itu.
Tersangka Korupsi Mestinya Ditahan
Didi Irawadi Syamsuddin, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Didi Irawadi Syamsuddin menghargai Kejaksaan Agung yang telah menetapkan dua tersangka kasus pengadaan sistem informasi Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan.
Penetapan tersangka itu, menurutnya, dapat dijadikan modal untuk mendongkrak citra Kejagung yang tengah terpuruk. Asalkan, kasus ini nanti tidak mangkrak, seperti sejumlah perkara korupsi yang sebelumnya ditangani Korps Adhyaksa.
“Kepercayaan masyarakat akan kembali jika Kejagung mampu menuntaskan berbagai kasus yang ditanganinya, terutama kasus korupsi,” katanya.
Namun, Didi menyayangkan kenapa Kejagung tidak langsung menahan kedua tersangka kasus ini. Sudah sepatutnya, kata dia, tersangka segera ditahan. “Supaya tidak bisa kabur. Saya khawatir mereka kabur,” ujar anggota Fraksi Partai Demokrat ini.
Dia juga meminta Kejagung menemukan tersangka lain kasus tersebut. “Soalnya, kemungkinan keterlibatan petinggi Ditjen Pajak dalam kasus ini, terbuka lebar,” kata anak Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin ini.
Didi menambahkan, empat langkah yang bisa dilakukan Kejagung untuk mengusut tuntas perkara ini. “Fokus, transparan kepada masyarakat, punya keberanian mengusut pejabat tinggi dan independen mengatasnamakan keadilan,” tandasnya.
Dia yakin Kejagung dapat mengusut tuntas perkara ini, asalkan lembaga yang dikomandoi Basrief Arief itu, menjalankan empat poin tersebut.
Didi juga meminta Ditjen Pajak berbenah diri dengan memecat siapa pun yang melakukan pelanggaran, terlebih korupsi. “Seharusnya mereka malu dan menjadikan kasus ini pelajaran supaya tidak terulang,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar