Selasa, 08 November 2011

Anggota DPR Diduga Intervensi Proyek PLTS

JAKARTA, (Tribunekompas)
By: Tommy.


Jaksa penuntut umum (JPU) KPK membeberkan dugaan intervensi anggota DPR dalam proyek pengadaan dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya berupa solar home system di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Bentuk intervensi politisi Se­na­yan itu, berupa titipan agar pihak Kementerian ESDM me­me­nang­kan perusahaan yang diso­dor­kannya dalam proyek ter­sebut. Na­mun, jaksa tidak meng­ungkap siapa anggota DPR yang mela­kukan intervensi tersebut.

Tak diungkapnya siapa ang­go­ta DPR itu, tampak dalam si­dang perdana bagi terdakwa Ridwan San­jaya di Pengadilan Tindak Pi­dana Korupsi (Tipikor), Jakarta. Ridwan adalah Pejabat Pembuat Ko­mitmen dalam proyek pe­nga­daan dan pemasangan solar home system (SHS) pembangkit listrik te­naga surya (PLTS) di Ke­men­terian ESDM.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo me­ng­akui, JPU KPK tidak menyebut­kan, siapa ang­gota DPR yang meng­inter­vensi proyek tersebut. Namun, ka­tanya, JPU memiliki stra­tegi ter­sendiri sehingga belum me­nye­butkan identitas anggota DPR tersebut sekarang.

“Nanti se­mua akan melalui proses pem­buk­tian,” katanya ke­pada Tribunekompas, kemarin.

Dakwaan yang disusun JPU itu, lanjut Johan, telah melalui proses yang matang di KPK. Dari penyelidikan, penyidikan hingga naik ke penuntutan telah se­pe­ngetahuan pimpinan KPK.

Dalam dakwaan itu, jaksa KMS Roni memaparkan, ter­dakwa Ridwan menginstruksi­kan panitia pengadaan untuk memilih perusahaan titipan anggota De­wan sebagai rekanan.

“Terdakwa menyampaikan arahan kepada panitia pengadaan dengan me­ngatakan,’ini tolong dibantu un­tuk dimenangkan ka­rena me­ru­pakan titipan dari DPR dengan tujuan untuk membantu meng­gol­kan RUU Ketenaga­lis­trikan, juga titipan dari Kejak­sa­an dan Kepolisian. Untuk meng­ako­modir keinginan anggota DPR, maka saya minta panitia pengada­an agar mengangkat nilai per­usa­haan’,” kata Roni membacakan surat dakwaan.

Arahan tersebut, lanjut Roni, di­sampaikan Ridwan dalam rapat panitia pengadaan pada Mei 2009. Saat itu, Ridwan meng­ajukan PT Ridho Teknik untuk mengerjakan proyek SHS di Aceh. Ia juga menyodorkan PT Paesa Pasindo untuk proyek di Su­matera Selatan dan Bengkulu serta PT Berdikari Utama Jaya untuk wilayah Sumatera Barat.

Sebelum rapat dengan panitia pengadaan, Ridwan juga telah me­nemui Ketua Panitia Penga­daan, Budianto Hari Purnomo. Ia me­nyerahkan daftar 28 per­usa­haan yang ingin dimenangkan se­bagai rekanan kepada Budianto.

Dalam kasus ini, selain Rid­wan, KPK juga telah menyeret bekas Dirjen Listrik Dan Pe­manfaatan Energi (LPE) Kemen­terian ESDM Jacobus Purwono sebagai ter­dakwa. Ridwan dan Jacobus se­cara bersama-sama me­nga­rahkan panitia pengadaan barang guna memenangkan suatu re­kan­an tertentu. Modusnya, dengan mengubah hasil evaluasi teknik da­lam pelaksanaan penga­daan ter­sebut.

“Setelah dievaluasi, be­berapa perusahaan tidak lulus ad­mi–nistrasi, tapi terdakwa tetap minta agar dibantu dan diperbaiki agar tidak berantakan. Terdakwa me­merintahkan panitia meng­ganti dokumen jaminan pena­war­an yang seharusnya tidak lulus ad­ministrasi,” kata jaksa.

Dari hasil perbuatannya, Rid­wan mendapat imbalan sebesar Rp 14,66 miliar dan juga mem­per­kaya Jacob Purwono sebesar Rp 1 miliar.

“Terdakwa juga mem­­­perkaya koorporasi, yaitu PT Ridho Teknik untuk pekerjaan di NAD Rp 3,86 miliar, PT Somit Karsa Trienergi untuk peker­jaan di Sumut Rp 4,2 miliar dan pihak lainnya (26 per­usa­haan), sehing­ga merugikan ke­uangan negara Rp 131,280 miliar,” lanjut Roni.

Jacob tidak hanya menjadi ter­sangka di kasus korupsi PLTS ta­hun anggaran 2009 itu. Dalam pro­yek pengadaan peralatan PLTS yang sama, tahun 2007-2008, Jacob pun menjadi ter­sang­ka bersama pejabat pem­buat ko­mitmen kala itu, Kosasih. Ke­dua­nya diduga melakukan ko­rupsi senilai Rp 119 miliar dari ni­lai proyek men­capai Rp 1 triliun.

Atas dakwaan itu, pihak Rid­wan Sanjaya mengatakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan atas pe­rintah atasannya, yakni Dirjen LPE Kementerian ESDM Jaco­bus Purwono.

“Dia melakukan itu bu­kan atas keinginannya sendiri, tapi atas perintah Jacob,” ujar kuasa hu­kum Ridwan, Sofyan Kasim.

Ditanya apakah benar ada ti­tipan anggota DPR dan pi­hak lain dalam pengadaan itu? Rid­wan hanya berujar singkat,“Se­mua ikut bertanggung ja­wab”.

Dirjen Listrik Terseret Dua Kasus

Reka Ulang


KPK mengendus dugaan korupsi dalam pengadaan solar home system (sistem listrik tenaga ma­tahari untuk rumah tangga) di Di­rektorat Jenderal Listrik dan Pe­manfaatan Energi (LPE) Ke­men­terian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ta­hun anggaran 2007-2008.

Setelah melalui penyelidikan dan penyidikan, pada Juni 2010, KPK menetapkan Dirjen LPE Ke­men­terian ESDM Jacobus Pur­wono se­bagai tersangka. Se­lain Jacob, Pejabat Pembuat Ko­mitmen ber­nama Kosasih juga ditetapkan se­bagai tersangka. Pengadaan ber­masalah itu diduga telah me­nim­bulkan kerugian negara sekitar Rp 119 miliar.

Penyelidikan KPK berlanjut, ternyata Jacob tidak hanya ber­masalah pada proyek solar home system (SHS) tahun anggaran 2007-2008. KPK mengendus du­gaan korupsi dalam pengadaan SHS pada tahun anggaran 2009. Ja­cob pun diduga terlibat di da­lam­nya.

Pada kasus kedua ini, Pejabat Pembuat Komitmen Ridwan San­jaya diduga terlibat. Jacob pun menjadi tersangka bersama Rid­wan untuk anggaran 2009. KPK juga pernah menggeledah be­be­rapa ruangan kantor Ditjen LPE.

Dalam kasus ini, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 131 miliar. Ridwan dan Jacobus lan­tas disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3, Pasal 5 dan Pa­sal 11 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Pada 26 Oktober 2011, berkas Ridwan yang sudah dinyatakan lengkap atau P21 masuk penun­tut­an. Dia pun menghadapi per­si­dangan pertamanya di Penga­dilan Tipikor, Jakarta. Dalam persidangan itulah terungkap ada­nya tangan-tangan politisi Se­nayan yang turut berperan dalam pengadaan tersebut.

Menurut jaksa KPK, perbuatan Ridwan juga bertentangan de­ngan Keppres Nomor 80 Tahun 2003.

“Perbuatan terdakwa ber­sama Jacob Purwono yang me­ngarahkan panitia pengadaan ba­rang untuk memenangkan re­kan­an tertentu dengan cara meng­ubah hasil evaluasi teknik dalam pelaksanaan pengadaan dan pe­masangan solar home system, bertentangan dengan Kepres ten­tang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah,” papar jaksa Roni.

Ridwan didakwa dengan pasal ber­lapis, yaitu dakwaan primer Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18, dan dak­waan subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Pem­be­rantasan Tindak Pidana Korupsi. Dia terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Dakwaan Jaksa Tak Boleh Kabur

Yulianto, Wakil Ketua KRHN


Wakil Ketua Komisi Refor­ma­si Hukum Nasional (KRHN) Yu­lianto mengingatkan jaksa pe­nuntut umum (JPU) KPK agar tidak main-main dalam me­nyusun dakwaan. Sebab, jak­sa adalah salah satu ujung tombak pegakan hukum.

Dalam menyusun dakwaan, bila jaksa menyebut keter­li­batan sejumlah pihak, seperti DPR, maka mereka harus me­miliki bukti yang kuat. “Dak­wa­an tidak boleh kabur, atau ha­nya dibuat berdasarkan asum­si. Bila memang jaksa me­nemukan adanya keterlibatan ang­gota DPR dalam sebuah per­kara, maka jaksa harus me­ma­parkan buktinya dan orang-orangnya,” kata Yulianto, ke­marin.

Akan menjadi sebuah kecuri­ga­an bagi publik, apabila jaksa me­nyusun dakwaan secara “abu-abu”. “KPK harus mem­bong­kar siapa saja anggota DPR yang disebut melakukan in­tervensi dalam pengadaan solar home system pembangkit lis­trik tenaga surya itu. Jika tidak, maka dakwaan seperti itu sangat rentan disalahgunakan,” ujar Yulianto.

Peneliti di Koalisi Masya­ra­kat Pengawasan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (KOM­WAS PBB) ini mengatakan, da­lam menyusun dakwaan, jak­sa bisa saja memiliki agenda atau interest tertentu yang pada ak­hirnya bisa mengaburkan pe­nuntasan perkara.

“Apakah ada unsur kese­nga­jaan, untuk melindungi pihak ter­tentu. Atau ada deal-deal de­ngan pihak terkait? Itu tidak bo­leh. Bisa juga karena unsur ke­tidaksengajaan jaksa, mi­sal­nya karena kurang profesional dan jam terbang yang tidak me­ma­dai, sehingga tidak cermat me­nyusun dakwaan,” terangnya.

Bagaimana pun, lanjut Yu­lian­to, jaksa yang melakukan ke­salahan, disengaja maupun tidak, harus mendapat pe­nga­wasan ketat dari atasannya. “Pim­pinannya harus menga­wa­si dan memberikan sanksi,” tegasnya.

Kenapa Mau Diintervensi

Ahmad Farial, Wakil Ketua Komisi VII DPR


Wakil Ketua Komisi VII DPR Ahmad Farial mengaku, selama ini mekanisme yang ber­jalan di komisinya tidak me­ngenal titip menitip proyek. Pem­bahasan anggaran dan pro­gram pemerintah, dilaku­kan secara terbuka.

“Semua program, anggaran dan pengadaan itu selanjutnya menjadi urusan pemerintah. Tidak ada upaya titip-menitip,” ujar Ahmad Farial ketika di­hubungi, kemarin.

Sebagai rekan kerja Ke­men­terian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), lanjut Farial, Ko­misi VII malah melakukan pengawasan atas setiap kinerja pe­merintah. Karena itu, bila me­mang ada bukti-bukti yang dite­mukan KPK mengenai ke­terlibatan oknum DPR dalam pe­ngadaan itu, maka proses hukum harus ditegakkan.

“Silakan KPK membuktikan. Kalau memang ada, maka pro­ses saja,” kata Farial.

Dia pun mengingatkan jaksa KPK agar tidak menyeret-nye­ret anggota DPR jika tak me­mi­liki bukti yang kuat. Apabila da­lam dakwaan disebutkan ke­terlibatan anggota DPR, te­gas­nya, maka jaksa harus bisa me­nunjukkan bukti secara gam­blang, tidak hanya mengumbar tuduhan. “Jangan menuduh tan­pa bukti akurat,” ujarnya.

Farial menyebutkan, jika da­lam pengadaan seperti itu di­te­mukan adanya intervensi ang­gota DPR, maka alangkah aneh­­nya apabila pejabat pe­me­rintah menuruti begitu saja.

“Kan mereka yang menger­ja­kan, apa urusannya mengin­ter­vensi kerja mereka. Mengapa mau diintervensi, aneh pejabat se­­perti itu. Silakan diproses hu­kum saja semuanya,” katanya.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo me­ngakui, JPU KPK tidak me­nye­butkan, siapa anggota DPR yang meng­intervensi proyek ter­sebut. Na­mun, kata Johan, itu strategi JPU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar