Sabtu, 19 November 2011

Nasib Menakertrans Masih Tunggu “Nyanyian”

JAKARTA, (Tribunekompas)
By: Tomy.


- Dalam sejumlah perkara yang ditangani KPK, jaksa penuntut umum (JPU) kerap memuat nama-nama yang bukan tersangka, turut melakukan perkara korupsi bersama terdakwa.

Sebut saja perkara dugaan ko­rupsi dana Percepatan Pem­ba­ngu­nan Infrastruktur Daerah (PPID) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Keme­na­kertrans). Dalam dakwaan ter­hadap Sesdit­jen Pembinaan Pem­bangunan Ka­­wa­san Transmigrasi (P2KT) I Nyo­man Suisnaya dan Kabag Prog­ram Evaluasi dan Pe­laporan Ditjen P2KT Ke­me­na­kertrans Da­dong Irbarelawan, jaksa menyeret nama Menteri Te­naga Kerja dan Trans­mig­rasi (Me­nakertrans) Mu­hai­min Iskan­dar turut bersama-sama terdakwa terlibat kasus ini. Pa­da­hal, KPK be­lum pernah mene­tap­kan Mu­haimin sebagai tersangka.

“Terdakwa Nyoman, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama Dadong Irbarelawan, Abdul Muhaimin Iskandar dan Ja­ma­luddien Malik pada Jumat (19/8) ber­tempat di kantor Ke­men­a­ker­trans, Kalibata, selaku pegawai ne­geri pada Kemenakertrans te­lah menerima hadiah uang Rp 2,01 miliar dari Dharnawati,” ujar JPU KPK Zet Tadung Alo dalam pem­bacaan dakwaan terhadap I Nyoman Suisnaya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (16/11).

Dharnawati menyampaikan ke­inginan untuk ikut proyek ter­se­but di empat wilayah Papua se­ni­lai Rp 73 miliar. Atas keinginan Dhar­na­wati, terdakwa mem­be­ri­ta­hukan bah­wa harus menye­rah­kan fee 10 per­sen untuk masing-masing daerah.

Pada kasus lain, yakni dugaan korupsi proyek pengadaan dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya berupa solar home system di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), JPU KPK juga membeberkan du­gaan intervensi anggota DPR.

Bentuk intervensi politisi Sena­y­an itu berupa titipan agar pihak Kementerian memenangkan perusahaan yang disodorkannya dalam proyek tersebut.”Namun, jaksa tidak mengungkapkan siapa anggota DPR yang melakukan intervensi tersebut.

Tak diungkapnya siapa anggo­ta DPR itu, tampak dalam sidang perdana bagi terdakwa Ridwan Sanjaya di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Ridwan adalah Pejabat Pembuat Komitmen dalam pro­yek pengadaan dan pemasangan solar home system (SHS) pem­bang­kit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian ESDM.

Kendati begitu, pimpinan KPK menampik bahwa dakwaan-dak­waan seperti itu merupakan kele­mahan anak buah mereka dalam membuat dakwaan. “Iya, dak­wa­a­nnya memang seperti itu. Tapi, apa yang terungkap dalam per­si­da­ngan, nanti akan kami proses juga,” ujar Ketua KPK Busyro Mu­qoddas di Gedung KPK, Jakarta.

Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto menyatakan, penyebutan se­jumlah nama yang turut me­la­ku­kan korupsi dalam dakwaan, tapi belum menjadi tersangka, tidak akan didiamkan begitu saja oleh KPK. “Mengenai dakwaan yang me­nyebut nama tertentu turut ber­sama-sama melakukan korupsi de­ngan terdakwa, yang turut serta itu pastinya akan kami proses juga. Ti­dak berhenti begitu saja,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin. Dia menilai, proses persidangan memang perlu dilakukan terlebih dahulu, barulah nama-nama yang disebut bersama terdakwa mela­kukan korupsi itu ditindaklanjuti KPK. Karena itu, “nyanyian” di persidangan angat menentukan nasib Muhaimin. “Kami akan lihat dulu kajian tim KPK menge­nai hasil sidang, sambil mencari bukti-bukti lain,” ujarnya.

Kepala Biro Humas KPK Jo­han Budi Sapto Prabowo me­nga­kui, JPU KPK tidak menye­butkan, si­apa anggota DPR yang meng­in­ter­vensi proyek tersebut. Namun, ka­ta­nya, JPU memiliki strategi ter­sen­diri sehingga belum menye­but­kan identitas anggota DPR tersebut sekarang ini. “Nan­ti semua akan melalui proses pembuktian,” katanya.

Dakwaan yang disusun JPU itu, lanjut Johan, telah melalui pro­­ses yang matang di KPK. Dari penyelidikan, penyidikan hingga naik ke penuntutan telah sepe­nge­tahuan pimpinan KPK.

Tidak Hanya Sampai Leher

Menurut bekas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usa­ha Negara (Jamdatun) Alex Sato Bya, tindakan jaksa pe­nun­tut umum (JPU) mema­suk­kan pihak lain yang diduga ber­sama-sama terdakwa mela­ku­kan korupsi, sah-sah saja. “Se­lain terdakwa ada yang bantu, ada yang bersama-sama. Turut bersama-sama itu sudah baku, sesuai Pasal 55 dan 56 KUHP,” ujar Alex, kemarin.

Dalam kasus korupsi, lanjut Alex, yang didakwa secara ber­sama-sama itu patut diduga me­ngetahui. “Misal, bawahan yang melakukan, pimpinannya di­duga mengetahui karena anak buahnya melapor ke atasan. Mung­kin tidak hanya sampai di leher, tapi sampai ke kepala. Mungkin modus operandinya si atasan tidak langsung terlibat, tetapi mereka terlibat,” urainya.

Dia pun mengingatkan, da­lam banyak perkara, seseorang atau beberapa orang didakwa tu­rut bersama-sama karena da­lam melakukan tindak pidana ko­rupsi, seorang terdakwa tidak berdiri sendiri. Dengan demi­kian, pihak-pihak yang diduga terlibat itu pun akan jelas posisi­nya dan perannya setelah proses persida­ngan terhadap terdakwa utama.

“Dalam sebuah dugaan tin­dak pidana suap misalnya, de­ngan jumlah uang yang besar sam­pai miliaran rupiah, sese­orang tidak terlepas dari se­pe­nge­tahuan pimpinannya atau orang di atasnya,” ujarnya.

Makanya, pihak-pihak yang disebut dalam dakwaan turut ber­sama-sama terdakwa mela­ku­kan tindak pidana, akan di­pro­ses setelah ada putusan ter­hadap terdakwa utama. “Apa­kah mereka nanti menjadi ter­sangka atau tidak, itu tergantung hasil persidangan. Kalau ter­buk­ti, maka orang-orang yang disebut bersama-sama itu juga harus diteruskan proses hukum­nya. Tidak boleh dihentikan,” tandasnya.

Wakil Ketua KPK Bibit Sa­mad Rianto menyatakan, pe­nye­butan sejumlah nama yang turut melakukan korupsi dalam dakwaan, tapi belum menjadi tersangka, tidak akan didiamkan begitu saja oleh KPK.

“Mengenai dakwaan yang menyebut nama tertentu turut ber­sama-sama melakukan ko­rupsi dengan terdakwa, yang tu­rut serta itu pastinya akan kami proses juga. Tidak berhenti begitu saja,” ujarnya.

Tetapkan Dulu Sebagai Tersangka

Sofialdi, Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta


Hakim ad hoc Pengadilan Tin­dak Pidana Korupsi (Ti­pi­kor) Jakarta Sofialdi mene­gas­kan, seseorang yang belum per­nah diperiksa dan belum dite­tapkan sebagai tersangka, be­lum bisa disebut jaksa ikut ber­sama-sama melakukan tindak pidana bersama terdakwa.

“Misalnya, baru diperiksa sebagai saksi sekali, langsung di­buat dalam dakwaan secara bersama-sama. Bagi saya itu be­lum cukup. Penuntut harus memiliki bukti yang cukup dan menjadikan seseorang tersang­ka terlebih dahulu, barulah bisa me­nyebut orang itu bersama-sama terdakwa di dalam dak­waan,” ujar Sofialdi.

Menurut dia, terlalu pagi me­nyebut seseorang yang belum ditetapkan sebagai tersangka, tapi melakukan tindak pidana bersama terdakwa.

“Penyidik seharusnya mene­tapkan dulu orang itu menjadi tersangka dengan bukti-bukti yang ada, barulah ditulis dalam dakwaan turut serta bersama-sama,” ujarnya.

Kata Sofialdi, jika belum ada bukti, maka jaksa tidak boleh me­nyebut nama orang tersebut dalam dakwaan. “Misalnya, ka­lau menyebut orang itu me­nerima uang, tetapi tidak memi­liki bukti penerimaan uang, ya ti­dak usah ditulis dalam dak­waan bahwa yang bersangkutan bersama-sama terdakwa me­la­ku­kan tindak pidana,” ujarnya.

Bila model dakwaan seperti itu terus berlanjut, menurutnya, bukan tidak mungkin akan ada upaya hukum terhadap jaksa penuntut umum dari pihak yang disebut namanya itu. “Nanti pe­nuntutnya bisa dipra­pe­ra­di­lan­kan atau dituntut,” ingatnya.

Kendati begitu, pimpinan KPK menampik bahwa dak­wan-dakwaan seperti itu meru­pakan kelemahan anak buah mereka dalam membuat dak­wa­an. Menurut Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin, proses per­sidangan bisa dilakukan terlebih dahulu, barulah nama-nama yang disebut bersama terdakwa me­lakukan korupsi itu ditin­dak­lanjuti KPK.

“Kami akan lihat dulu kajian tim KPK mengenai hasil sidang, sambil mencari bukti-bukti lain,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar