Sabtu, 24 Desember 2011

Pemilukada 2011 Dinodai 367 Kasus Politik Uang

JAKARTA, (TRIBUNEKOMPAS)
By: Rangga.

- Pemilukada tahun ini masih banyak dinodai pelanggaran. Catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selama 2011 setidaknya telah terjadi 1.718 dugaan pelanggaran.

Dari jumlah tersebut 565 atau 33 persen diantaranya dugaan pelanggaran administrasi dan sebesar 22 persen atau 372 pe­langgaran pidana. Sisanya se­banyak 781 dugaan pelanggaran tidak diteruskan kepada KPU dan/atau Kepolisian, karena bukti permulaan tidak cu­kup, atau kadaluwarsa bagi pe­langgaran pidana.

Data pelanggaran ini merupa­kan hasil pengawasan Bawaslu yang dilakukannya terhadap pe­lak­sanaan pemilukada di 92 dae­rah, baik di provinsi, kabupaten dan kota.

“Sebanyak 781 dugaan pelang­ga­ran tidak dapat diteruskan kepada pihak KPU dan Kepoli­sian. 565 Pelanggaran kita terus­kan ke KPU karena memenuhi unsur pelanggaran administrasi. Sedangkan 372 terindikasi sebagai tindak pidana dan di­teruskan ke penyidik kepolisian,” kata anggota Bawaslu Nur Hida­yat Sardini di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, permasalahan ter­se­but antara lain disebabkan ke­terbatasan kewenangan Bawaslu, dan kurangnya sumber daya ma­nusia. Dari 565 pelanggaran, pa­ling besar adalah pelanggaran kampanye yang jumlahnya 296 la­­poran, pemutakhiran data pe­mi­lih 103 laporan, pemungutan sua­ra dan rekap 95 laporan, pra-kam­panye 42 laporan, dan masa te­nang sebanyak 29 laporan.

“Dari 372 pelanggaran terse­but, oleh kepolisian diterus­kan kejak­saan sejumlah 16 pe­lang­garan. Pelanggaran terjadi ka­rena masih banyaknya pemal­suan tanda tangan dukungan, kam­­panye terselubung, intimi­dasi dari salah satu pasangan ca­lon, penge­lem­bu­ngan suara mau­pun pengu­rangan suara,” jelas­nya.

Alumni Universitas Diponego­ro ini menegaskan, diperlukan upaya aktif dari pengawas pemilu menggandeng para pemangku kepentingan (stakeholder). Hal ter­sebut dilakukan demi mengop­timalkan dukungan dari lembaga-lembaga pemerintah dan badan negara independen dalam penga­wa­san penyelenggaraan pemilu­kada, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraannya, dan secara lebih komprehensif. “Itu merupa­kan bagian dari pendidikan politik untuk rakyat,” ujarnya.

Diungkapkan, anggaran Pani­tia Pengawas Pemilu (panwas­lukada) yang disetujui Pemerin­tah Derah (Pemda) jauh lebih kecil dibandingkan dengan kebu­tu­han biaya pengawasan yang diajukan Panwaslu di daerah. Akibatnya, pengawasan yang dilakukan Panwaslukada tidak optimal

Idealnya, kata dia, nota kese­pahaman atau memorandum of understanding (MoU) ditanda­tangi sebelum tahapan pertama Pemilukada dimulai, sehingga Panwas dapat melakukan persia­pan pengawasan yang matang.

Tapi, yang terjadi, dari 35 daerah yang melaporkan tanggal penandatanganan MoU, hanya empat daerah yang melakukan penandatanganan MoU anggaran sebelum tahapan I Pemilukada dimulai.

Bahkan ada dua daerah yang menandatangani MoU pada saat menjelang hari pemungutan dan penghitungan suara, yaitu Kabu­paten Brebes dan Kabupaten Ban­jar­negara.

Tak hanya itu, kata dia, Ba­was­lu juga menemukan praktik po­litik uang alias money politics dan ketidaknertalan pegawai negeri sipil (PNS) di pemilukada. Kedua hal tersebut adalah bentuk pe­langgaran yang masih sering dite­mukan panwaslu 53 kabupaten dan kota. “Dalam catatan yang ditangani panwaslu tercatat pe­lang­garan politik uang sebanyak 367 kasus, dan ketidaknetralan PNS 63 kasus,” ungkapnya.

Dilihat dari jumlah kasusnya, politik uang banyak terjadi di di Kabupaten Wakatobi sebanyak 48 kasus, di Nunukan 37 kasus, dan sebanyak 33 kasus di Tanjung Jabung Timur.

Pelaku pelanggaran politik uang dilakukan adalah tim suk­ses, warga biasa yang tidak jelas berkaitan dengan tim sukses, pe­muka masyarakat, dan Petugas Pemungutan Suara (PPS).

Biasanya pelanggaran money politic dilakukan pendukung calon dari pasangan incumbent, yang menyalahgunakan kekua­saan­nya, dan sering terjadi di Ka­bupaten/Kota. Jumlahnya bera­gam, mulai dari Rp 20 ribu sam­pai Rp 5 juta.

Sedangkan pada kasus ketidak­netralan PNS hampir terdistribusi secara merata dengan jumlah ter­banyak di Kabupaten Sragen, Ban­jarnegara, dan Kediri ma­sing-masing enam kasus di tiap daerah.

Kasus itu terjadi dalam ber­ba­gai bentuk, diantaranya banyak­nya PNS yang menjadi juru bicara kampanye, pejabat yang menyuruh bawahannya untuk memilih pasangan calon tertentu, serta penggunaan fasilitas peme­rintah daerah seperti gedung yang digunakan untuk kampanye tim sukses. “Ini penyelewengan jaba­tan. Semestinya segera ditin­dak­lanjuti. Hanya saja kewenangan Bawaslu terbatas,” jelasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar