Kamis, 20 Oktober 2011

Tersangka Kasus Korupsi di Kemenkes Tak Ditahan

JAKARTA, (Tribunekompas)
By: Anto.


- Polisi, katanya sih, masih menelusuri dugaan keterlibatan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dalam kasus korupsi di Kementerian Kesehatan. Tapi, hasil penelusuran tersebut belum jelas hingga kemarin.

Penyidik Bareskrim Mabes Polri memeriksa bekas Kepala Bagian Program dan Informasi Sekretariat Badan Pengem­ba­ngan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Syamsul Bahri, kemarin.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Bachrul Alam, Syamsul menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga kesehatan. Proyek ini bermo­dalkan anggaran negara sebesar Rp 495 miliar.

Dari hasil pemeriksaan saksi-saksi, lanjut Anton, diduga ada peng­gelembungan harga penga­da­an alat bantu pendidikan dokter 17 rumah sakit pemerintah dan ru­jukan di 12 provinsi. “Ada du­gaan melakukan mark up harga alat peraga,” ujar perwira tinggi yang akan menduduki pos Asis­ten Sarana dan Prasarana (Asar­pras) Polri ini.

Kendati begitu, Syamsul belum ditahan dan belum dicegah ke luar negeri. Alasan Anton, ter­sang­ka masih menunjukkan pe­rilaku baik untuk menyelesai­kan kasus korupsi tersebut.

“Dia me­nun­jukkan sikap yang koo­pe­ratif,” ucap bekas Kapolda Kali­mantan Selatan ini.

Anton menambahkan, kendati belum meminta Direktorat Jen­de­ral Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM untuk mencegah Syam­sul ke luar negeri, polisi ya­kin tersangka tidak akan me­la­ri­kan diri, tidak akan meng­hi­lang­kan barang bukti dan tidak akan mempersulit proses penyidikan.

Sikap kooperatif tersangka, me­nurut Anton, terlihat dari ke­ha­dirannya memenuhi panggilan penyidik, kemarin. Bekas pejabat Kemenkes yang terlilit perkara ko­rupsi itu, menemui penyidik Di­rektorat III Tipikor di Mabes Polri, Ja­karta, sekitar pukul 10 pagi.

Setelah menjalani pemerik­sa­an hingga pukul 3 petang, Syam­sul diperkenankan penyidik un­tuk istirahat. Penyidikan dilan­jutkan setelah tersangka selesai istirahat. “Materi pemeriksaan tersangka ini masih berkutat se­putar pembahasan anggaran pro­yek,” kata seorang penyidik.

Menurut Anton, jika pada pe­meriksaan lanjutan penyidik menyimpulkan ada ke­ter­libatan pihak lain, terbuka ke­mungkinan jumlah tersangka per­kara ini akan bertambah.

“Proses menuju ke arah itu te­ngah kami kembangkan. Kami me­nunggu hasil pemeriksaan ter­sangka ini selesai lebih dulu,” ujar bekas Kapolda Jawa Timur ini.

Namun, saat ditanya apa­kah penyidik sudah menemukan du­gaan keterlibatan M Na­za­rud­din, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat dalam perkara ini, Anton hanya menyatakan, ta­hapan penyidikan ke arah ter­se­but masih dalam proses.

Anton menyadari, banyak yang menilai penanganan kasus ini ber­jalan lamban. Tapi, katanya, pe­nyidik tidak bisa buru-buru me­nuntaskan perkara tersebut lan­taran banyaknya saksi dan ma­teri yang harus diteliti kepolisian. Sejauh ini, katanya, penyidik telah memeriksa 100 saksi.

Selain materi perkara yang ru­mit, lanjut Anton, saksi-saksi yang berada jauh dari wilayah Ja­karta juga menjadi kendala.

“Saksi-saksinya tersebar di ber­bagai wilayah Indonesia. Kami juga tidak mau gegabah me­ne­n­tu­kan arah penyelidikan dan pe­nyidikan kasus ini. Kami sangat hati-hati,” ucapnya.

Hal senada disampaikan Di­rek­tur III Tindak Pidana Korupsi Ba­reskrim Polri Brigjen Ike Edwin. Penyidik, katanya, masih me­ngo­rek keterangan Syamsul untuk menyibak dugaan keter­libatan pi­hak lain.

“Masih ada dugaan ke­ter­li­batan yang lain. Masih kami telu­suri. Proses penyelidikan dan pe­nyidikan kasus ini masih ber­ja­lan, kok,” ucap bekas Kapolres Ja­karta Pusat yang akan menem­pati pos baru sebagai Widyais­wara Polri ini.

Saat ditanya mengenai hasil pemeriksaan tersangka Syamsul, Ike menolak membeberkan hal tersebut. Dia hanya mengatakan, kasus tersebut masih didalami anak buahnya.

Ngaku Sudah Periksa 100 Saksi

Polisi telah melayangkan surat panggilan kepada sembilan di­rek­tur Rumah Sakit Umum Dae­rah (RSUD) yang diduga terkait kasus korupsi proyek Rp 495 mi­liar ini. Salah satu target peme­riksaan ada­lah untuk menyingkap dugaan ke­terlibatan bekas Ben­dahara Umum Partai Demokrat M Nazarudin.

Pengiriman surat panggilan ter­hadap sembilan direktur RSUD ini diakui Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Bachrul Alam. Menurutnya, sembilan di­rektur itu masih dalam kapasitas sebagai saksi. “Delapan direktur ru­mah sakit sudah kami periksa. Sisanya menyusul,” ujar bekas Ke­pala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya ini, kemarin.

Pemeriksaan delapan direktur RSUD, lanjutnya, dilaksanakan sejak 29 September. Menurut Anton, para direktur itu diduga me­ngetahui proyek pengadaan alat bantu belajar-mengajar pen­didikan dokter spesialis di rumah sakit pendidikan dan rujukan pa­da Badan Pengembangan dan Pem­berdayaan Sumber Daya Manusia Ke­menterian Kesehatan (BP2SDM Kemenkes) tahun 2009.

Tapi, lanjut Anton, jika ditotal, penyidik telah memeriksa sedi­kit­nya 100 saksi. Jadi, bukan ha­nya para direktur RSUD itu yang dikorek keterangannya.

Dia menambahkan, Polri juga berkoordinasi dengan KPK da­lam menangani kasus ini. Soal­nya, KPK mengusut kasus pe­nga­daan alat kesehatan (alkes) tahun 2007 di Kementerian Kesehatan. Dalam kasus ini, bekas Sekjen De­­partemen Kesehatan Sjafii Ah­mad telah menjadi terpidana, se­dangkan bekas Kepala Pusat Pe­nanggulangan Krisis Depkes Rus­tam Syarifuddin Pakaya se­bagai tersangka.

“Setelah cukup bukti, penyidik menetapkan RSP sebagai ter­sangka,” ujar Kepala Biro Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo, Rabu (28/9).

Rustam merupakan kuasa peng­guna anggaran dalam pro­yek pe­ngadaan alat rontgen por­tabel untuk Puskesmas daerah tertinggal yang merugikan ke­ua­ngan negara Rp 9,48 miliar. KPK juga menetap­kan bekas Direktur Bina Pelayanan Medik Ratna Dewi Umar sebagai tersangka.

Khawatir Kasus ini Akhirnya Tak Jelas

Neta S Pane, Ketua LSM IPW


Penetapan status tersangka terhadap bekas Kepala Bagian Program dan Informasi Sek­re­tariat Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Ke­sehatan Syamsul Bahri, se­mestinya diikuti pengungkapan dalang kasus korupsi ini. De­mi­kian saran Ketua Presidium LSM Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane.

“Semestinya, tersangka ini menjadi kunci untuk menyibak peran pejabat lain yang lebih tinggi,” ujarnya, kemarin.

Neta mengingatkan, dugaan kerugian negara dalam kasus korupsi di Kementerian Kese­ha­tan ini punya nilai besar. Lan­taran itu, selain dugaan ke­ter­libatan Syamsul, polisi hen­dak­nya mampu menentukan keter­libatan pihak lain.

Dia menduga, tersangka Syamsul tahu benar siapa orang yang selama ini menjadi dalang kasus tersebut. “Kapasitasnya se­bagai Kepala Bagian Prog­ram dan Informasi Sekretariat Ba­dan Pengembangan dan Pem­berdayaan Sumber Daya Ma­nusia, menempatkannya se­bagai orang yang mengetahui secara spesifik perihal aliran dana pada proyek tersebut,” tandasnya.

Dengan argumen itu, Neta me­ngingatkan agar penyidik Tipikor Polri menindaklanjuti pengakuan maupun keterangan tersangka secara berani dan te­gas. Jika tidak berani dan tak tegas, dikhawatir-kan akhir pe­na­nganan kasus ini men­jadi tidak jelas arahnya.

“Penyelidikan dan penyidi­kan yang sudah su­sah payah di­lakukan bisa men­jadi tidak ber­arti. Gejala itu jelas akan sangat membahayakan Polri,” tan­dasnya.

Tanggung Jawab Penyidik Berat


Martin Hutabarat, Anggota Komisi III DPR

Penyidik memiliki kewe­na­ngan menentukan, apakah ter­sangka ditahan atau tidak. Jika menganggap tersangka suatu perkara kooperatif, penyidik bisa memutuskan untuk tidak menahannya.

“Tapi, keputusan tidak me­na­han tersangka mempunyai kon­sekuensi. Penyidik harus dapat jaminan tersangka tidak me­la­ri­kan diri dan tak mengh­ilang­kan barang bukti. Penyidik juga dituntut mampu menghadirkan tersangka jika mereka membu­tuh­kan keterangannya,” ujar anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat, kemarin.

Lantaran itu, dia mengi­ngat­kan, tanggung jawab penyidik se­telah memutuskan tidak me­na­han tersangka, seperti Syam­sul Bahri, sangat besar dan be­rat. Perlu pemantauan ekstra ter­­hadap tersangka agar tidak me­­lepas tanggung jawab hu­kum yang harus dijalaninya.

“Harus ada pengawasan in­ten­sif. Ini memerlukan energi eks­tra,” tandasnya.

Lantaran itu, Martin berharap polisi segera mengajukan status cegah tersangka ke luar negeri ke­pada Ditjen Imigrasi Kemen­te­rian Hukum dan HAM. De­ngan menyandang status di­ce­gah, ruang gerak tersangka akan ter­batas. “Ditjen Imigrasi men­jadi lebih siap mengantisipasi gerak-gerik seseorang yang diduga terlibat perkara pidana,” ucapnya.

Marthin menambahkan, ke­pu­tusan tidak menahan ter­sang­ka hendaknya dipertimbangkan penyidik secara matang. Arti­nya, hal seperti ini tidak bisa di­berikan kepada tersangka se­cara serampangan.

Dia juga meminta kepolisian mengoptimalkan proses penyi­di­kan. Dengan optimalisasi pro­ses penyidikan, Martin ber­ha­rap, kasus korupsi di Kemen­terian Kesehatan ini bisa segera tuntas sampai menyeret aktor intelektualnya.

Menurut Kepala Divisi Hu­mas Polri Anton Bahrul Alam, kendati belum meminta Direk­to­rat Jenderal Imigrasi mence­gah Syamsul ke luar negeri, po­lisi yakin tersangka tidak akan melarikan diri, tidak akan meng­hilangkan barang bukti dan tidak akan mempersulit proses penyidikan.

Sikap kooperatif tersangka, menurut Anton, terlihat dari ke­ha­dirannya memenuhi panggi­lan penyidik, kemarin. Bekas pe­jabat Kemenkes yang terlilit perkara korupsi itu, menemui penyidik Direktorat III Tipikor di Mabes Polri, Jakarta, sekitar pukul 10 pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar